Rabu, 27 Februari 2008

Soal Landasan Kependidikan (Pasca-Unja)

NASKAH SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER
MATA KULIAH : LANDASAN KEPENDIDIKAN
SEMESTER : GANJIL 2007/2008
PROGRAM STUDI : PROGRAM MAGISTER TEKNOLOGI PENDIDIKAN
KELAS : C
PROGRAM : PASCASARJANA UNIVERSITAS JAMBI
DOSEN : DR. MAIZAR KARIM


A. PETUNJUK
Jawablah soal berikut secara ringkas, jelas, dan tepat.

B. SOAL
1. Kemukakan dan jelaskanlah persoalan aktual pendidikan di Indonesia. Bandingkan dengan persoalan pendidikan di negara lain, seperti Amerika, Jepang, atau negara jiran!
2. Apakah landasan pendidikan Indonesia dapat memperkokoh sistem pendidikan Indonesia sehingga output sistem pendidikan Indonesia memiliki daya saing global? Jelaskan argumentasi Anda!
3. Kemukakan dan jelaskanlah komponen sistem pendidikan Indonesia yang perlu direformasi!


Semoga sukses!

Senin, 18 Februari 2008

My Children Fiona and Farouq


Jambi Selayang Pandang

JAMBI
SELAYANG PANDANG

Nama Jambi
Munculnya nama Jambi sebagai satu kawasan di sekitar Sungai Batanghari memiliki latar belakang sejarah dengan berbagai versi. Ada yang mengatakan bahwa nama Jambi muncul sejak daerah ini dikendalikan oleh seorang ratu bernama Puteri Selaras Pinang Masak, yaitu semasa keterikatan dengan Kerajaan Majapahit. Waktu itu bahasa keraton dipengaruhi bahasa Jawa, di antaranya kata pinang disebut jambe. Sesuai dengan nama ratunya “Pinang Masak”, maka kerajaan tersebut dikatakan Kerajaan Melayu Jambe. Lambat laun rakyat setempat umumnya menyebut “Jambi”.
Versi tersebut disangkal oleh kenyataan lain, seperti apa yang ditulis dalam berita Cina oleh Sang Hui Yao. Catatan tersebut mengemukakan bahwa pada tahun 1082 Kerajaan Jambi masih utuh. Kata Jambi ini ditulisnya dengan aksara Cina yang bacaannya: /Champei/. Hal ini menunjukkan bahwa versi pertama, yang mengaitkan dengan nama Puteri Pinang Masak, agak meragukan dibandingkan dengan versi kedua. Sebab pendapat versi kedua ini berjarak 300 tahun sebelumnya.
Versi ketiga, kata Jambi ini sebelum ditemukan oleh Orang Kayo Hitam atau sebelum disebut Tanah Pilih, bernama Kampung Jam, yang berdekatan dengan Kampung Teladan, yang diperkirakan di sekitar daerah Buluran Kenali sekarang. Dari kata Jam inilah akhirnya disebut “Jambi”.
Versi keempat berpedoman pada buku sejarah De Oudste Geschiedenis van de Archipel bahwa Kerajaan Melayu Jambi dari abad ke-7 s.d. 13 merupakan bandar atau pelabuhan dagang yang ramai. Di sini berlabuh kapal-kapal dari berbagai bangsa, seperti: Portugis, India, Mesir, Cina, Arab, dan Eropa lainnya. Berkenaan dengan itu, sebuah legenda yang ditulis oleh Chaniago menceritakan bahwa sebelum Kerajaan Melayu jatuh ke dalam pengaruh Hindu, seorang puteri Melayu bernama Puteri Dewani berlayar bersama suaminya dengan kapal niaga Mesir ke Arab, dan tidak kembali. Pada waktu lain, seorang putri Melayu lain bernama Ratna Wali bersama suaminya berlayar ke Negeri Arab, dan dari sana merantau ke Ruhum Jani dengan kapal niaga Arab. Kedua peristiwa dalam legenda itu menunjukkan adanya hubungan antara orang Arab dan Mesir dengan Melayu. Mereka sudah menjalin hubungan komunikasi dan interaksi secara akrab.
Kondisi tersebut melahirkan interpretasi bahwa nama Jambi bukan tidak mungkin berasal dari ungkapan-ungkapan orang Arab atau Mesir yang berkali-kali ke pelabuhan Melayu ini. Orang Arab atau Mesir memberikan julukan kepada rakyat Melayu pada masa itu sebagai ”Janbi”, ditulis dengan aksara Arab: , yang secara harfiah berarti ’sisi’ atau ’samping’, secara kinayah (figuratif) bermakna ’tetangga’ atau ’sahabat akrab’.

Dinamika Jambi
Penduduk yang berdiam di wilayah Jambi ini dapat dikategorikan atas dua golongan: (1) Orang Jambi asli pertama, yaitu penduduk asli yang bercampur dengan imigran Hindia Belakang dan keturunan-keturunannya. Orang Melayu tua (porto Melayu) ini hidup 25 abad yang lalu. Yang termasuk dalam kategori ini adalah Suku Bajau, Kerinci, dan Batin; (2) Orang Jambi asli kedua, yaitu keturunan penduduk asli dengan imigran Hindia Belakang yang bercampur dengan orang Jawa di masa pengaruh Majapahit, orang Minangkabau, dan Palembang. Yang termasuk kategori (Deutron Melayu) ini adalah Melayu Jambi, Penghulu, dan Suku Pindah.
Pada abad ke-4, masyarakat Jambi asli pertama mendirikan kerajaan. Adanya kerajaan, tentu dalam masyarakat itu ada orang yang dirajakan. Pada masa ini raja sangat absolut dan rakyatnya masih primitif. Pada abad ke-7, di Hilir Sungai Batanghari, berdiri kerajaan Melayu. Kerajaan Melayu Jambi ini merupakan perkembangan kerajaan Jambi semenjak kira-kira 300 tahun sebelumnya. Hanya kemudian mempunyai sebutan khusus ”Kerajaan Melayu”.
Kerajaan Melayu Jambi pada abad ke-7 dikenal luas dalam sejarah dunia. Kerajaan ini memegang peranan penting pada masa itu, karena kerajaan ini menjadi titik pertemuan lalu lintas pelayaran. Dari India ke Cina, dari bagian barat ke Maluku bagian timur, dari Cina ke barat, kapal-kapal layar itu dipaksa alam melepas sauh di Pelabuhan Melayu Jambi. Di sini mereka menunggu peredaran musim, arah angin, dan ke mana pelayaran mereka selanjutnya. Dengan dermikian, kerajaan Melayu Jambi menjadi pusat perdagangan dan transaksi pedagang Persia, Arab, India, Mesir, Cina, dan Eropa lainnya. Pada masa ini kerajaan Melayu Jambi dikenal sebagai penghasil lada, hasil hutan, dan emas. Pada masa ini pun kerajaan Melayu yang sudah dipengaruhi Hindu—pada mulanya animisme—telah mendirikan sekolah tinggi yang dikunjungi orang-orang dari berbagai kerajaan untuk mempelajari agama Budha dan bahasa Sanskerta.
Pada masa kerajaan Melayu, Jambi belum memiliki batas wilayah yang jelas dan kongkret secara agraris. Batas-batas tersebut baru berupa konvensi menurut adat dan kekuasaan, yaitu: dari Tanjung Jabung sampai Durian Takuk Rajo; dari Sialang Belantak Besi ke Bukit Tambun Tulang. Tanjung Jabung adalah daerah pantai Jambi, termasuk Pulau Berhala, Pulau Telor, Pulau Laya, dan Pulau Majin sampai ke Tungkal. Durian Takuk Rajo berada di Setinjau Laut, sedangkan Bukit Tambun Tulang berada di Singkut.
Batas-batas tersebut diakui dan tersimpan di hati segenap rakyat Jambi, yang harus dipertahankan dari invasi Belanda yang telah mangkal di daerah tetangganya, seperti Palembang, Padang, Bengkulu, dan Riau pada masa itu.
Pada permulaan abad ke-8 salah seorang raja Melayu Jambi (Sri Maharaja Srindrawarman) menganut agama Islam. Namun, antara permulaan abad ke-8 dan permulaan abad ke-12 terjadi masa vacum dakwah Islam di Jambi. Agama Islam mazhab Syafi’i baru mulai berkembang di Jambi, setelah daerah ini takluk di bawah kekuasaan Samudra Pasai (1285—1522).
Yang memberi corak khusus dan yang menentukan jalannya perkembangan serta yang nyata-nyata mengubah kebudayaan Melayu Jambi adalah pengaruh-pengaruh dari agama Islam. Pengaruh ini menghasilkan ciptaan-ciptaan yang memberi ciri tertentu kepada kebudayaan Melayu Jambi. Agama Hindu/Budha, yang dalam zaman purba telah menentukan corak dan disebut kebudayaan Melayu Jambi didesak oleh agama Islam. Dalam pembentukan kebudayaan baru, yang tumbuh dan berkembang adalah kebudayaan pengaruh Islam. Pengaruh Islam itu pulalah yang memberikan dan menentukan arah baru serta corak khusus kebudayaan material dan spiritual Melayu Jambi.
Dalam kurun Islam pada abad ke-15 dan 16, pemerintahan kesultaan muncul di Jambi. Di Kesultanan Jambi pada abad ke-20 dan awal abad ke-21, struktur pemerintahannya terdiri atas: (1) Kuasa Sultan, (2) Kuasa Patih Dalam. (3) Kuasa Patih Luar, (4) Kuasa Batin (Jenang), (5) Kuasa Tengganai, dan (6) Kuasa Dusun (Penghulu).
Sesudah proklamasi 17 Agustus 1945, daerah Jambi merupakan daerah keresidenan, bagian dari Provinsi Sumatera. Ketika Provinsi Sumatera pecah menjadi Provinsi Sunmatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan, Keresidenan Jambi yang terdiri dari Kabupaten Merangin, Kabupaten Batanghari, dan Kotapraja Jambi masuk Provinsi Sumatera Tengah.
Jambi kemudian menjadi daerah Swatantra Tingkat I, yang terlepas dari Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Tengah. Jambi menjadi Provinsi Daerah Tingkat I Jambi melalui badan Kongres Rakyat Djambi (BKRD) sampai kebijakan otonomi daerah dengan diberlakukannya Undang-undang nomor 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah.
Provinsi Jambi yang membujur di bagian tengah Sumatera, memiliki luas wilayah 53.435 Km2; berada antara 0045’—2045’ Lintang Selatan dan 10100’—104055’ Bujur Timur. Saat ini Provinsi Jambi terbagi atas sembilan kabupaten dan satu kota, yaitu Kabupaten Batanghari, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Merangin, Kabupaten Tebo, Kabupaten Bungo, Kabupaten Kerinci, Kabupaten Muaro Jambi, dan Kota Jambi. Mayoritas penduduk yang mendiami provinsi ini memeluk agama Islam (96,14 %), disusul kemudian protestan (1,85%), Budha (1,21%), Katolik (0,66%), Hindu (0,07%), dan lainnya (0,07%).

Potensi Budaya
Provinsi Jambi memiliki potensi kebudayaan yang cukup banyak dan beraneka ragam, seperti peninggalan sejarah dan kepurbakalaan, bahasa dan sastra, dan kesenian lainnya. Di Provinsi Jambi terdapat 123 situs peninggalan sejarah, dengan rincian: Kota Jambi 5 situs, kabupaten Batanghari dan Muaro Jambi 31 situs, Kabupaten Tebo dan Bungo sebanyak 16 situs, di Kabupaten Merangin dan Sarolangun 16 situs, Kabupaten Kerinci 49 situs, dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat 6 situs.
Jambi sebagai salah satu daerah budaya Nusantara, masyarakatnya dalam berkomunikasi sehari-hari menggunakan bahasa Melayu, yang dikenal dengan Melayu Jambi. Pertumbuhan dan perkembangan bahasa Melayu menunjukkan pula pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan Melayu Jambi.
Sastra Melayu Jambi dapat ditelusuri lewat beberapa tahapan perkembangan, yakni; (1) sastra Melayu Jambi asli, (20 sastra pengaruh Hindu/Budha, (3) sastra pengaruh peralihan. (4) dan sastra pengaruh Islam. Masimg-masing tahapan itu memiliki bentuk dan genre sendiri-sendiri, yang memperkaya khazanah kebudayaan Melayu di Nusantara.
Di bidang kesenian, berbagai cabang seni dimiliki pula oleh Provinsi Jambi. Seni musik, seni tari, seni rupa, seni lakon, dan seni krya tradisional lainnya memperlihatkan pertumbuhan dan perkembangan sedemikian rupa sehingga dapat menjadi inspirasi, bahan, dan konvensi dalam penciptaan kesenian modern di Jambi khususnya dan Nusantara umumnya. Dalam pertumbuhan dan perkembangannya berbagai cabang kesenian Melayu Jambi tersebut mengalami akulturasi dengan unsur-unsur kesenian bangsa lain atau suku bangsa lain di Nusantara. Dengan demikian kesenian Melayu Jambi ada yang orisinal atau tradisional dan ada pula yang bersifat akulturatif, kombinatif, kolaboratif atau modern.

Adat Melayu Jambi
Salah satu ranah kebudayaan Melayu Jambi yang tak lapuk karena hujan dan tak lekang karena panas adalah adat. Adat, baik adat istiadat, adat yang teradat, adat yang diadatkan, dan adat yang sebenarnya adat merupakan pedoman perilaku keseharian masyarakat Melayu Jambi. Untuk menentukan salah atau benar sesuatu perbuatan diteliti (disimak) dari ungkapan-ungkapan dalam pepatah dan petitih serta seloko adat yang ada kaitannya dengan perbuatan atau kejadian tersebut. Contoh ungkapan tersebut, antara lain:
(1) Terpijak benang arang, hitam tapak.
Tersuruk di gunung kapur, putih tengkuk.
(2) Sia-sia negeri alah
Tateko hutang tumbuh.
(3) Pinjam memulangkan
Sumbing menitik
Hilang mengganti

Bagi masyarakat Melayu Jambi, adat merupakan elemen perekat dalam sendi kemasyarakatannya yang memungkinkan masyarakat tumbuh dan berkembang secara serasi dalam suasana kekeluargaan yang harmonis dan dinamis. Hal ini dimungkinkan karena dalam sistem adat memuat komponen hukum yang bersifat duniawi dan ukhrawi, seperti tertuang dalam ungkapan: ”Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”.
(Oleh Maizar Karim, dari berbagai sumber)

Minggu, 17 Februari 2008

Ulasan Sajak

Ruang Satra dan Budaya

MEMPERTIMBANGKAN
SAJAK-SAJAK CHORY MARBAWI
Oleh Dr. Maizar Karim Elha, M.Hum*)

Suatu hari di tahun 1990-an, Ary Mhs. Ce’gu berkunjung ke rumah saya, berbincang-bincang tentang perjalanannya berkeliling di berbagai kota sambil mensosialisasikan antologi sajak-sajaknya. Pada kunjungan itu ia mengundang saya untuk membicarakan puisinya. Sebentar saya berpikir, lalu bertanya: “Bung menghendaki saya jujur atau menghendaki pujian?” Ia menjawab: “Saya menghendaki Bapak bicara jujur. Kalau perlu mengeritik habis!” Saya kemudian menulis ulasan terhadap karyanya secara seimbang. Baik kelebihan maupun kekurangannya saya utarakan secara jujur. Beberapa tahun kemudian Ary Mhs. Ce’gu datang lagi dengan antologi sajak terbarunya. Pada kumpulan sajak-sajak ini, ia hadir dengan namnya Muhamad Husyairi. Akan tetapi, saya tidak sempat mengulasnya karena beberapa kesibukan. Sajak-sajaknya yang atas nama Ary Mhs. Ce’gu ternyata berbeda dengan sajak-sajaknya dengan nama Muhammad Husyairi.
Pada awal kepenyairan Ari Setya Ardhi (alm.), saya membaca beberapa sajaknya di beberapa koran ibu kota dan koran daerah. Saya mencoba memberi catatan atas sajak-sajak itu, ada juga dari sajak-sajaknya itu saya beri komentar secara lisan pada pertemuan-pertemuan tidak resmi dengannya. Ternyata ia kemudian menerima komentar saya, dan mengubah di sana-sini sajak-sajaknya. Hal ini terbukti dari sajak-sajaknya yang terbit kemudian sebagai buku dan pada sajak-sajak yang kemudian dibacanya secara auditorium. Ari Setya Ardhi memang penyair yang terbuka atas kritik dan selalu rendah hati.
Kedua penyair di atas, meskipun memiliki karya yang berbeda karakter, tetapi dalam komitmennya dalam dunia kepenyairan, sama-sama tidak pernah goyah. Apa pun komentar dan kritik pembaca, ia terus-menerus berkarya. Seakan-akan menghasilkan karya sastra adalah jalan hidup atau profesi yang sudah merupakan takdirnya. Banyak penyair kita, baik lokal maupun nasional, setelah namanya popular, kemudian istirah, nyaris berhenti menulis. Penyair yang sudah berhenti menulis pada hakikatnya adalah penyair yang sudah wafat. Bunga kamboja pantas dihadiahkan kepadanya. Ari Setya Ardhi, meskipun secara klinis ia telah meninggal, tetapi secara eksistensial tetap hidup. Begitu pula Muhamad Husyairi, baik secara klinis maupun eksistensial, sampai saat ini tetap hadir dan berkarya.
Tulisan ini tidak bemaksud membicarakan dua penyair Jambi yang baru disebutkan, tetapi lebih memfokuskan diri kepada karya-karya Chory Marbawi, penyair Jambi yang belakangan ini sering mengumumkan sajak-sajaknya. Terakhir sajak-sajaknya terkumpul dalam antologi bersama Negeri Angsa Putih, Antologi Puisi dari Negeri Jambi (NAP) yang diterbitkan oleh Bengkel Swadaya Mandriri dan Daya Kreativitas Insani (2007). Dalam kumpulan sajak tersebut Chory memuatkan dua puluh judul sajaknya. Dua puluh sajak itu merupakan objek ulasan ini. Dari delapan penyair muda yang masih berstatus mahasiswa dalam kumpulan sajak itu, Chory Marbawi adalah seorang yang sengat getol membacakan sajak-sajaknya di berbagai peristiwa budaya di Jambi.
Dua puluh sajak Chory dalam antologi NAP, bila diklasifikasi berdasarkan persoalan atau tematiknya, mendedahkan enam persoalan pokok. Persoalan-persoalan tersebut adalah: kecemasan akan bencana, kekuatan cinta, jati diri dan tradisi yang hilang, keprihatinan terhadap keadilan dan kata-kata, kerinduan, dan perjuangan. Persoalan-persoalan tersebut disikapi oleh penyair secara jelas. Akan tetapi, sikap-sikap yang diambilnya umumnya tidak memperlihatkan sikap yang partikular, tidak memperlihatkan sikap yang unik. Sikap-sikap yang ditunjukkan penyair masih bersifat mayoritas, sikap yang sering diambil oleh kebanyakan orang. Hanya pada sajak-sajak tertentu (beberapa) yang telah memperlihatkan sesuatu yang impersonal.
Tidak semua sajak Chory akan dipertimbangkan dalam tulisan ini. Pada kesempatan ini saya hanya akan memfokuskan perhatian pada sajak-sajak yang bertemakan (1) kecemasan akan bencana dan (2) jati diri dan tradisi yang hilang. Dua tema ini diharapan dapat mewakili tema-tema lain. Hal ini dapat dimafhumi karena ulasan ini lebih menekankan pada aspek bentuk atau metode (meminjam istilah I.A. Richard).
Untuk mengungkapkan penghayatannya terhadap bencana di Indonesia, penyair menuangkannya dalam dua judul sajak, yakni: Indonesia dalam kurun waktu 7 tahun ini (IK7T) dan Nyanyian dari Jalanan (NJ). Meskipun dua sajak ini mendiskusikan persoalan yang sama, tetapi memperlihatkan estetika yang berbeda. Pada sajak IK7I, dalam menyikapi persoalan bencana di Indonesia, penyair tidak memberi makna apa-apa terhadap bencana. Bencana baginya hanya merupakan musibah yang menelan korban, bencana adalah burung gagak; suatu kejadian yang sulit diduga, sesuatu yang selalu dicemaskan. Sajak tersebut terkesan hanya sebuah feature sebuah koran yang ditulis dalam bentuk puisi. Meskipun ada kata-kata “semut” dan “gagak” dalam sajak itu, tetapi dua kata tersebut tidak mampu membangun daya bayang apalagi membangun dunia partikular sang penyair.
Lain halnya dengan sajak NJ. Sajak yang juga membicarakan bencana ini sangat ekstrim. Ada pemberontakan yang radikal terhadap kekuasaan Tuhan. Penyair telah memperlihatkan sikap yang partikular sekaligus impersonal dalam sajak tersebut. Ungkapan ”//mengemasi ketidakadilan di atas debu-debu jalanan/yang berterbangan seperti layang-layang putus// merupakan satuan-satuan akustik yang sarkastis dan penuh abiguitas. Begitu pula ungkapan pada bait ketiga sajak tersebut, seperti kutipan berikut: //hentakan kakiNya/ialah pekikan nurani/dalam derap irama kepiluan//. Di sana imaji kemarahan, imaji kepiluan seakan-seakan hadir secara bersamaan yang membuat sajak itu memperlihatkan sesuatu yang beroposisi biner, juga membuat sajak itu sarat dengan kompleksitas. Dalam sajak ini (NJ), Chory Marbawi berhasil menggambarkan kedahsyatan bencana dibandingkan dengan sajak sebelumnya (IKW7T).
Sajak-sajak yang membicarakan jatidiri dan tradisi yang hilang adalah sajak Kucari jalan menuju rumahku (KJMR), Kemana Indonesiaku (KI), Lintasi kali batanghari (LKB), dan Kapan kita hentikan perjamuan ini (KKHPI). Pada sajak KJMR, penyair merindukan kembali pada dunia yang naturalistik dan rindu akan kehidupan tradisional. Dunia yang naturalistik dan penuh tradisional adalah rumah yang indah bagi penyair. Namun suasana natural dan tradisional (rumah) tersebut telah mengalami keruntuhan. Aku-lirik dalam sajak tersebut ingin membangun kembali rumah yang tinggal puing-puing tersebut.
Sajak KJMR ini serupa dengan sajak KI. Kompleksitas persoalan kedua sajak ini tidak proporsional. Seharusnya sajak KI lebih kompleks dibandingkan dengan KJMR. Ikon “rumahku” lebih mikro daripada ikon “Indonesia” yang bersifat makro. Akan tetapi, kedua sajak tersebut memperlihatkan indeksikal yang sama pada ruang lingkup yang berbeda. Hal ihwal tersebut merupakan indikasi kekurangtajaman visi penyair.
Seirama dengan dua sajak di atas (KJMR dan KI), sajak LKB juga mengungkapkan keprihatinan terhadp tradisi. Dunia modernitas yang disimbolkan oleh mesin-mesin telah menenggelamkan dunia tradisonal yang disimbolkan oleh perahu-perahu. Sebenarnya sajak LKB cukup menarik karena memperlihatkan kontroversi-kontroversi, tetapi sayang sekali sajak ini menjadi tidak menarik karena munculnya larik terakhir bait ketiga sajak tersebut. “Angso duo tinggal tradisi” adalah ungkapan yang tidak jelas, suatu ungkapan yang mencerminkan penyair tidak mengetahui esensi dan konsepsi tentang tradisi.
Sajak lain yang membicarakan tradisi adalah sajak KKHPI. Dari segi hakikat sajak ini berbeda dengan sajak sebelumnya. Sajak ini cenderung meragukan, mempertanyakan, atau mengkritisi tradisi yang ada. Mungkin ada tradisi-tradisi yang berrsifat seremonial dan artifisial yang tidak rasional, yang perlu digugat, lebih ekstrim lagi harus dihentikan. Sajak ini akan lebih menarik sebenarnya, kalau penyair mampu mengkongkretkan pikiran dan perasaannya. Akan tetapi, sajak ini terlalu abstrak, sehingga tidak mampu merangsang asosiasi atau imaji pembaca.
Sajak-sajak Chori, terutama yang membicarakan tradisi, memang cenderung memberi gambaran yang umum terhadap objek-objek sajak. Hal ini disebabkan oleh pilihan kata (diksi) yang bersifat umum, tidak diksi yang bersifat khusus. Kata-kata: “tradisi”, “perjamuan”, “Indonesiaku”, “rumahku”, misalnya, merupakan kata-kata umum. Kata-kata umium sering tidak mampu membuat pembaca berasosiasi, berimajinasi; tidak mampu membawa pembaca ke objek yang “real” sehingga sajak tidak terasa kongkret dan hidup. Suasana-suasana yang khusus dan kongkret hanya bisa diciptakan oleh kata-kata khusus dan kongkret yang dalam linguistik dikenal dengan hiponim.
Tugas seorang penyair bukanlah mengabstrakkan sesuatu yang kongkret, tetapi penyair harus mengkongkretkan sesuatu yang abstrak Dengan bahasa-bahasa yang khas, khusus, dan kongkret, maka puisi menjadi tetap menarik, puisi menjadi kekal, tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Chory belum memiliki bahasa yang khas tersebut.
Kongkretisitas sebuah sajak akan dirasakn oleh pembaca, bila pembaca dapat merasakan suasana dan makna sajak. Suasana dan makna sajak itu hadir beraneka ragam. Pembaca yang satu dengan pembaca yang lain mungkin merasakan suasana dan makna sajak itu berbeda-beda. Dengan kata lain sajak itu memancarkan prisma-prisma suasana dan makna. Hal inilah yang disebut sajak itu ambigous (taksamakna). Semakin banyak suasana dan makna yang dipancarkan oleh sajak bersangkutan, maka sajak tersebut semakin bermutu, demikian kata Roland Barthes.
Untuk menciptakan ambiguitas sebuah sajak dapat dilakukan dengam bebagai cara. Salah satu cara yang ditempuh oleh penyair kontemporer adalah melalui enjambemen, yaitu cara atau kiat penggantian baris dalam setiap bait sajak. Cara membuat larik-larik sajak menjadi satuan-satuan akustik yang bermakna harus dilakukan penyair demi menekankan makna dan meciptakan ambiguitas. Penytair Jambi yang paling piawai membangun enjambemen sebuah sajak adalah penyair Ari Setia Ardhi. Sajak-sajak Ari terkesan gelap kalau kita membacanya menurut konvensi baris. Namun, bila baris-baris sajak Ari kita baca menurut konvensi enjambemen-nya, maka sajak-sajak Ari menjadi puisi yang transfaran.
Chory Marbawi dalam sajak-sajaknya alpa terhadap enjambemen. Chori tidak berusaha membangun larik-larik sajaknya secara akustis, tetapi lebih terkesan sintaktis. Hampir semua sajaknya taat kepada satuan-satuan klausa dan/atau satuan kalimat. Kalaupun ada di antara satuan larik sajak-sajaknya terdapat enjambemen yang fungsional, tetapi fungsionalitasnya cenderung untuk memberi penekanan makna tunggal, bukan untuk membangun ambiguitas makna.
Akhirnya, saya dapat menyimpulkan bahwa persoalan-persoalan yang diangkat oleh Chory Marbawi dalam sajak-sajaknya adalah persoalan-persoan aktual, lokal, dan universal. Namun, persoalan-persoalan tersebut masih disikapi secara normatif, tidak banyak dari perseoalan itu yang disikapi secara partikular, unik, dan khas (kecuali sajak yang berjudul “Nyanyian dari Jalanan”). Dari segi metode Chory belum memanfaatkan enjambemen dalam menciptakan ambiguitas makna sajak. Di dalam sajak-sajaknya masih didominasi oleh kata-kata umum. Ia belum memaksimalkan kata-kata khusus sehingga objek-objek sajaknya terasa abstrak, tidak kongret. Sebuah sajak yang abstrak tidak mampu membangun asosiasi atau imaji pembaca. Sajak-sajak abstrak hanya mampu membuat penyairnya berasosiasi dan berimajinasi.
Saya berharap Chory Marbawi tidak berhenti menulis sampai di sini. Apa pun kata pembaca atau kritikus, kreativitas harus tetap berjalan. Ari Setya Ardhi, Ari Mhs Ce’gu atau Muhamad Husyairi dan penyair lain perlu “diajak diskusi”. Chory Marbawi adalah penyair yang akan memperkuat kepenyairan di Jambi. Beberapa tahun ke depan namanya akan tercatat dalam peta kepenyairan Indonesia, Semoga.

_________________________
*) Dr. Maizar Karim Elha, M.Hum
Ketua Pusat Penelitian Budaya Melayu,
Lembaga Penelitian Universitas Jambi.

Biodata Maizar Karim

BIODATA PENULIS

Maizar Karim, lahir 18 Mei 1962 di Desa Sirih Sekapur, Kecamatan Jujuhan, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Setelah menamatkan Sekolah Dasar di desa kelahirannya, ia menamatkan sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas di Kota Padang, Sumatera Barat. Tahun 1981, ia kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Bung Hatta Padang, tetapi tidak selesai. Ia menyelesaikan sarjana (S1) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, di Universitas Negeri Padang tahun 1986. Tahun 1986—1987 ia mengajar di SMA Baiturrahmah, Padang. Dalam tahun 1987—1988 mengajar di SMP-PGRI dan SMA Purnama di Jambi; di tahun yang sama mengajar di Fakultas Tarbiyah IAIN Sultan Taha Shaifuddin dan FKIP Universitas Batang Hari. Sejak tahun 1988 sampai sekarang menjadi dosen tetap di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, FKIP Universitas Jambi.
Tahun 1988 mendirikan MPBI (Masyarakat Pencinta Budaya Indonesia) Jambi; tahun 1989 mendirikan Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia Komisariat Daerah Jambi; tahun 1992—1994 mengikuti Program Magister (S2) di Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung; Tahun 1996 ikut membidani pendirian Dewan Kesenian Jambi; tahun 1998 mendirikan Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara) cabang Jambi; tahun 1999 menjadi Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Jambi.
Tahun 2001 mengikuti Program Doktor (S3) Bidang Ilmu Sastra, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung, dan selesai tahun 2007 dengan objek kajian kesusastraan Melayu Klasik. Sejak tahun 2006 menjadi Ketua Pusat Penelitian Budaya Melayu, Lembaga Penelitian Universitas Jambi dan Ketua Bagian Pariwisata Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi.
Ia mulai menulis di media massa lokal dan nasional sejak kelas tiga SMA (1981), berupa sajak, cerpen, dan artikel-budaya. Sejumlah sajaknya terkumpul dalam antologi bersama Nyanyian Kafilah (1989); Serambi (1990); Kelopak (1998); Antologi Cerpen Dari Kedondong sampai Tauh (1999); menyunting dan memberi Kata Pendahuluan Antologi Puisi Surat Dari Batu Embun Berlinang Gazali Burhan Riodja (1999). Karya tulis lain: Kiat Menulis (1997); Pengkajian Sastra Melayu (2005); dan ”Kisah Raja-raja Melayu Jambi” (belum diterbitkan).