Ruang Satra dan Budaya
MEMPERTIMBANGKAN
SAJAK-SAJAK CHORY MARBAWI
Oleh Dr. Maizar Karim Elha, M.Hum*)
Suatu hari di tahun 1990-an, Ary Mhs. Ce’gu berkunjung ke rumah saya, berbincang-bincang tentang perjalanannya berkeliling di berbagai kota sambil mensosialisasikan antologi sajak-sajaknya. Pada kunjungan itu ia mengundang saya untuk membicarakan puisinya. Sebentar saya berpikir, lalu bertanya: “Bung menghendaki saya jujur atau menghendaki pujian?” Ia menjawab: “Saya menghendaki Bapak bicara jujur. Kalau perlu mengeritik habis!” Saya kemudian menulis ulasan terhadap karyanya secara seimbang. Baik kelebihan maupun kekurangannya saya utarakan secara jujur. Beberapa tahun kemudian Ary Mhs. Ce’gu datang lagi dengan antologi sajak terbarunya. Pada kumpulan sajak-sajak ini, ia hadir dengan namnya Muhamad Husyairi. Akan tetapi, saya tidak sempat mengulasnya karena beberapa kesibukan. Sajak-sajaknya yang atas nama Ary Mhs. Ce’gu ternyata berbeda dengan sajak-sajaknya dengan nama Muhammad Husyairi.
Pada awal kepenyairan Ari Setya Ardhi (alm.), saya membaca beberapa sajaknya di beberapa koran ibu kota dan koran daerah. Saya mencoba memberi catatan atas sajak-sajak itu, ada juga dari sajak-sajaknya itu saya beri komentar secara lisan pada pertemuan-pertemuan tidak resmi dengannya. Ternyata ia kemudian menerima komentar saya, dan mengubah di sana-sini sajak-sajaknya. Hal ini terbukti dari sajak-sajaknya yang terbit kemudian sebagai buku dan pada sajak-sajak yang kemudian dibacanya secara auditorium. Ari Setya Ardhi memang penyair yang terbuka atas kritik dan selalu rendah hati.
Kedua penyair di atas, meskipun memiliki karya yang berbeda karakter, tetapi dalam komitmennya dalam dunia kepenyairan, sama-sama tidak pernah goyah. Apa pun komentar dan kritik pembaca, ia terus-menerus berkarya. Seakan-akan menghasilkan karya sastra adalah jalan hidup atau profesi yang sudah merupakan takdirnya. Banyak penyair kita, baik lokal maupun nasional, setelah namanya popular, kemudian istirah, nyaris berhenti menulis. Penyair yang sudah berhenti menulis pada hakikatnya adalah penyair yang sudah wafat. Bunga kamboja pantas dihadiahkan kepadanya. Ari Setya Ardhi, meskipun secara klinis ia telah meninggal, tetapi secara eksistensial tetap hidup. Begitu pula Muhamad Husyairi, baik secara klinis maupun eksistensial, sampai saat ini tetap hadir dan berkarya.
Tulisan ini tidak bemaksud membicarakan dua penyair Jambi yang baru disebutkan, tetapi lebih memfokuskan diri kepada karya-karya Chory Marbawi, penyair Jambi yang belakangan ini sering mengumumkan sajak-sajaknya. Terakhir sajak-sajaknya terkumpul dalam antologi bersama Negeri Angsa Putih, Antologi Puisi dari Negeri Jambi (NAP) yang diterbitkan oleh Bengkel Swadaya Mandriri dan Daya Kreativitas Insani (2007). Dalam kumpulan sajak tersebut Chory memuatkan dua puluh judul sajaknya. Dua puluh sajak itu merupakan objek ulasan ini. Dari delapan penyair muda yang masih berstatus mahasiswa dalam kumpulan sajak itu, Chory Marbawi adalah seorang yang sengat getol membacakan sajak-sajaknya di berbagai peristiwa budaya di Jambi.
Dua puluh sajak Chory dalam antologi NAP, bila diklasifikasi berdasarkan persoalan atau tematiknya, mendedahkan enam persoalan pokok. Persoalan-persoalan tersebut adalah: kecemasan akan bencana, kekuatan cinta, jati diri dan tradisi yang hilang, keprihatinan terhadap keadilan dan kata-kata, kerinduan, dan perjuangan. Persoalan-persoalan tersebut disikapi oleh penyair secara jelas. Akan tetapi, sikap-sikap yang diambilnya umumnya tidak memperlihatkan sikap yang partikular, tidak memperlihatkan sikap yang unik. Sikap-sikap yang ditunjukkan penyair masih bersifat mayoritas, sikap yang sering diambil oleh kebanyakan orang. Hanya pada sajak-sajak tertentu (beberapa) yang telah memperlihatkan sesuatu yang impersonal.
Tidak semua sajak Chory akan dipertimbangkan dalam tulisan ini. Pada kesempatan ini saya hanya akan memfokuskan perhatian pada sajak-sajak yang bertemakan (1) kecemasan akan bencana dan (2) jati diri dan tradisi yang hilang. Dua tema ini diharapan dapat mewakili tema-tema lain. Hal ini dapat dimafhumi karena ulasan ini lebih menekankan pada aspek bentuk atau metode (meminjam istilah I.A. Richard).
Untuk mengungkapkan penghayatannya terhadap bencana di Indonesia, penyair menuangkannya dalam dua judul sajak, yakni: Indonesia dalam kurun waktu 7 tahun ini (IK7T) dan Nyanyian dari Jalanan (NJ). Meskipun dua sajak ini mendiskusikan persoalan yang sama, tetapi memperlihatkan estetika yang berbeda. Pada sajak IK7I, dalam menyikapi persoalan bencana di Indonesia, penyair tidak memberi makna apa-apa terhadap bencana. Bencana baginya hanya merupakan musibah yang menelan korban, bencana adalah burung gagak; suatu kejadian yang sulit diduga, sesuatu yang selalu dicemaskan. Sajak tersebut terkesan hanya sebuah feature sebuah koran yang ditulis dalam bentuk puisi. Meskipun ada kata-kata “semut” dan “gagak” dalam sajak itu, tetapi dua kata tersebut tidak mampu membangun daya bayang apalagi membangun dunia partikular sang penyair.
Lain halnya dengan sajak NJ. Sajak yang juga membicarakan bencana ini sangat ekstrim. Ada pemberontakan yang radikal terhadap kekuasaan Tuhan. Penyair telah memperlihatkan sikap yang partikular sekaligus impersonal dalam sajak tersebut. Ungkapan ”//mengemasi ketidakadilan di atas debu-debu jalanan/yang berterbangan seperti layang-layang putus// merupakan satuan-satuan akustik yang sarkastis dan penuh abiguitas. Begitu pula ungkapan pada bait ketiga sajak tersebut, seperti kutipan berikut: //hentakan kakiNya/ialah pekikan nurani/dalam derap irama kepiluan//. Di sana imaji kemarahan, imaji kepiluan seakan-seakan hadir secara bersamaan yang membuat sajak itu memperlihatkan sesuatu yang beroposisi biner, juga membuat sajak itu sarat dengan kompleksitas. Dalam sajak ini (NJ), Chory Marbawi berhasil menggambarkan kedahsyatan bencana dibandingkan dengan sajak sebelumnya (IKW7T).
Sajak-sajak yang membicarakan jatidiri dan tradisi yang hilang adalah sajak Kucari jalan menuju rumahku (KJMR), Kemana Indonesiaku (KI), Lintasi kali batanghari (LKB), dan Kapan kita hentikan perjamuan ini (KKHPI). Pada sajak KJMR, penyair merindukan kembali pada dunia yang naturalistik dan rindu akan kehidupan tradisional. Dunia yang naturalistik dan penuh tradisional adalah rumah yang indah bagi penyair. Namun suasana natural dan tradisional (rumah) tersebut telah mengalami keruntuhan. Aku-lirik dalam sajak tersebut ingin membangun kembali rumah yang tinggal puing-puing tersebut.
Sajak KJMR ini serupa dengan sajak KI. Kompleksitas persoalan kedua sajak ini tidak proporsional. Seharusnya sajak KI lebih kompleks dibandingkan dengan KJMR. Ikon “rumahku” lebih mikro daripada ikon “Indonesia” yang bersifat makro. Akan tetapi, kedua sajak tersebut memperlihatkan indeksikal yang sama pada ruang lingkup yang berbeda. Hal ihwal tersebut merupakan indikasi kekurangtajaman visi penyair.
Seirama dengan dua sajak di atas (KJMR dan KI), sajak LKB juga mengungkapkan keprihatinan terhadp tradisi. Dunia modernitas yang disimbolkan oleh mesin-mesin telah menenggelamkan dunia tradisonal yang disimbolkan oleh perahu-perahu. Sebenarnya sajak LKB cukup menarik karena memperlihatkan kontroversi-kontroversi, tetapi sayang sekali sajak ini menjadi tidak menarik karena munculnya larik terakhir bait ketiga sajak tersebut. “Angso duo tinggal tradisi” adalah ungkapan yang tidak jelas, suatu ungkapan yang mencerminkan penyair tidak mengetahui esensi dan konsepsi tentang tradisi.
Sajak lain yang membicarakan tradisi adalah sajak KKHPI. Dari segi hakikat sajak ini berbeda dengan sajak sebelumnya. Sajak ini cenderung meragukan, mempertanyakan, atau mengkritisi tradisi yang ada. Mungkin ada tradisi-tradisi yang berrsifat seremonial dan artifisial yang tidak rasional, yang perlu digugat, lebih ekstrim lagi harus dihentikan. Sajak ini akan lebih menarik sebenarnya, kalau penyair mampu mengkongkretkan pikiran dan perasaannya. Akan tetapi, sajak ini terlalu abstrak, sehingga tidak mampu merangsang asosiasi atau imaji pembaca.
Sajak-sajak Chori, terutama yang membicarakan tradisi, memang cenderung memberi gambaran yang umum terhadap objek-objek sajak. Hal ini disebabkan oleh pilihan kata (diksi) yang bersifat umum, tidak diksi yang bersifat khusus. Kata-kata: “tradisi”, “perjamuan”, “Indonesiaku”, “rumahku”, misalnya, merupakan kata-kata umum. Kata-kata umium sering tidak mampu membuat pembaca berasosiasi, berimajinasi; tidak mampu membawa pembaca ke objek yang “real” sehingga sajak tidak terasa kongkret dan hidup. Suasana-suasana yang khusus dan kongkret hanya bisa diciptakan oleh kata-kata khusus dan kongkret yang dalam linguistik dikenal dengan hiponim.
Tugas seorang penyair bukanlah mengabstrakkan sesuatu yang kongkret, tetapi penyair harus mengkongkretkan sesuatu yang abstrak Dengan bahasa-bahasa yang khas, khusus, dan kongkret, maka puisi menjadi tetap menarik, puisi menjadi kekal, tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Chory belum memiliki bahasa yang khas tersebut.
Kongkretisitas sebuah sajak akan dirasakn oleh pembaca, bila pembaca dapat merasakan suasana dan makna sajak. Suasana dan makna sajak itu hadir beraneka ragam. Pembaca yang satu dengan pembaca yang lain mungkin merasakan suasana dan makna sajak itu berbeda-beda. Dengan kata lain sajak itu memancarkan prisma-prisma suasana dan makna. Hal inilah yang disebut sajak itu ambigous (taksamakna). Semakin banyak suasana dan makna yang dipancarkan oleh sajak bersangkutan, maka sajak tersebut semakin bermutu, demikian kata Roland Barthes.
Untuk menciptakan ambiguitas sebuah sajak dapat dilakukan dengam bebagai cara. Salah satu cara yang ditempuh oleh penyair kontemporer adalah melalui enjambemen, yaitu cara atau kiat penggantian baris dalam setiap bait sajak. Cara membuat larik-larik sajak menjadi satuan-satuan akustik yang bermakna harus dilakukan penyair demi menekankan makna dan meciptakan ambiguitas. Penytair Jambi yang paling piawai membangun enjambemen sebuah sajak adalah penyair Ari Setia Ardhi. Sajak-sajak Ari terkesan gelap kalau kita membacanya menurut konvensi baris. Namun, bila baris-baris sajak Ari kita baca menurut konvensi enjambemen-nya, maka sajak-sajak Ari menjadi puisi yang transfaran.
Chory Marbawi dalam sajak-sajaknya alpa terhadap enjambemen. Chori tidak berusaha membangun larik-larik sajaknya secara akustis, tetapi lebih terkesan sintaktis. Hampir semua sajaknya taat kepada satuan-satuan klausa dan/atau satuan kalimat. Kalaupun ada di antara satuan larik sajak-sajaknya terdapat enjambemen yang fungsional, tetapi fungsionalitasnya cenderung untuk memberi penekanan makna tunggal, bukan untuk membangun ambiguitas makna.
Akhirnya, saya dapat menyimpulkan bahwa persoalan-persoalan yang diangkat oleh Chory Marbawi dalam sajak-sajaknya adalah persoalan-persoan aktual, lokal, dan universal. Namun, persoalan-persoalan tersebut masih disikapi secara normatif, tidak banyak dari perseoalan itu yang disikapi secara partikular, unik, dan khas (kecuali sajak yang berjudul “Nyanyian dari Jalanan”). Dari segi metode Chory belum memanfaatkan enjambemen dalam menciptakan ambiguitas makna sajak. Di dalam sajak-sajaknya masih didominasi oleh kata-kata umum. Ia belum memaksimalkan kata-kata khusus sehingga objek-objek sajaknya terasa abstrak, tidak kongret. Sebuah sajak yang abstrak tidak mampu membangun asosiasi atau imaji pembaca. Sajak-sajak abstrak hanya mampu membuat penyairnya berasosiasi dan berimajinasi.
Saya berharap Chory Marbawi tidak berhenti menulis sampai di sini. Apa pun kata pembaca atau kritikus, kreativitas harus tetap berjalan. Ari Setya Ardhi, Ari Mhs Ce’gu atau Muhamad Husyairi dan penyair lain perlu “diajak diskusi”. Chory Marbawi adalah penyair yang akan memperkuat kepenyairan di Jambi. Beberapa tahun ke depan namanya akan tercatat dalam peta kepenyairan Indonesia, Semoga.
_________________________
*) Dr. Maizar Karim Elha, M.Hum
Ketua Pusat Penelitian Budaya Melayu,
Lembaga Penelitian Universitas Jambi.
Minggu, 17 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar